Panas Bumi untuk Minyak Atsiri
P RADITYA MAHENDRA YASA
ilustrasiIndonesia, khususnya Garut, Jawa Barat, memiliki potensi yang sangat besar dalam industri minyak atsiri di dunia, terutama minyak akar wangi atau vetiver root oil. Selama ini puluhan penyuling akar wangi di Garut terjepit di antara dua persoalan: krisis bahan bakar dan tengkulak yang mencekik.
Kebijakan pemerintah akhir tahun 2005 tentang mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan menaikkan harga BBM lebih dari 100 persen telah menempatkan para penyuling di ambang kehancuran. Biaya membeli minyak tanah sebagai bahan bakar utama penyulingan naik lebih dari dua kali lipat. Sementara harga minyak akar wangi kerap tak menentu akibat ulah para tengkulak.
Kondisi semakin sulit tatkala banyak penyuling yang ditangkap polisi gara-gara membeli minyak tanah dalam jumlah besar. Aturan pembatasan pembelian menjadi tembok penghalang menyakitkan bagi penyuling yang membutuhkan 250 liter minyak tanah untuk sekali menyuling selama lebih kurang 24 jam. Terlebih untuk bisa keluar dari jerat hukum mereka kerap ”menyetor” uang jutaan rupiah kepada polisi.
Dampaknya, kini, dari 30 penyuling akar wangi, 20 di antaranya kolaps. Lahan akar wangi seluas 2.400 hektar yang tersebar di lima kecamatan pun menyusut menjadi sekitar 1.000 hektar.
Mereka yang masih bertahan menyiasati persoalan bahan bakar ini dengan memakai solar atau oli bekas sebagai bahan bakar. Upaya efisiensi bahan bakar dengan menaikkan temperatur dan mempersingkat lama pembakaran membuat minyak akar wangi gosong karena disuling dengan tekanan 5-6 bar dalam waktu lebih singkat.
Krisis bahan bakar itu menginspirasi sekumpulan anak muda asal Garut yang tersebar di berbagai perguruan tinggi yang tergabung dalam Paguyuban Mahasiswa Asal Garut (Asgar Muda). Mereka menelurkan gagasan pemanfaatan panas bumi sebagai bahan bakar penyulingan. Sebuah gagasan yang—meskipun bukan hal baru—harus diapresiasi karena lahir dari generasi muda di sebuah negara tropis yang masih amat bergantung kepada bahan bakar fosil.
Mereka menilai kondisi Garut sangat ironis. Panas bumi dari sumur-sumur di kawah Kamojang dan Darajat di Garut menghasilkan listrik ratusan megawatt yang bisa dinikmati masyarakat luas. Namun, di tengah potensi energi panas bumi yang melimpah ruah itu masih ada penduduk Garut yang kelangsungan ekonomi keluarganya terganggu akibat kesulitan bahan bakar.
Ketua Dewan Pembina Asgar Muda Goris Mustaqim berpikiran, mengapa tidak sumur-sumur panas bumi Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang idle dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyuling akar wangi. Selain ramah lingkungan, energi terbarukan dan minim polusi ini juga dinilai lebih ekonomis dibandingkan dengan bahan bakar lain.
Serangkaian uji coba telah dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) guna menemukan kalkulasi tekanan, temperatur, dan lama penyulingan yang pas menggunakan panas bumi. Hasil uji coba diperoleh bahwa dengan tekanan optimum 2-3 bar dan lama penyulingan 20 jam bisa dihasilkan rendemen akar wangi hingga 2 persen, lebih besar daripada selama ini sebesar 0,3 persen.
Dengan demikian, kesimpulannya, penggunaan panas bumi pada penyulingan akar wangi dapat meningkatkan rendemen dan kualitas minyak akar wangi.
Secara sederhana, proses destilasi akar wangi memakai panas bumi juga tidak berbeda jauh dengan menggunakan bahan bakar lainnya. Uap panas bumi yang bertekanan sekitar enam bar dengan suhu 145 derajat celsius masuk ke penukar panas dengan kapasitas (debit) 500 kilogram per jam.
Air yang berasal dari kolam dipompakan ke penukar panas sehingga tekanan uap turun menjadi tiga bar dan temperaturnya menjadi 120 derajat celsius.
Uap tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tangki penyulingan yang telah diisi akar wangi yang telah kering. Penyulingan berlangsung sekitar 20 jam dengan tekanan yang dinaikkan bertahap hingga maksimal tiga bar.
Minyak akar wangi dalam akar akan menembus jaringan-jaringan akar (hidrodifusi) dan ikut dalam fasa uap. Campuran uap dan minyak lalu didinginkan di kondensor. Setelah terkondensasi, minyak dan air dipisahkan pada tangki pemisah, air berada di bawah, sedangkan minyak akar wangi berada di atas air.
Bahkan, untuk menyokong idenya itu, Asgar Muda, bekerja sama dengan PT Rekayasa Industri (Rekin), telah membuat prototipe alat penyuling akar wangi berbahan bakar panas bumi. Alat yang dibuat di Laboratorium Teknik Kimia ITB tersebut selesai dikerjakan pada 2008.
Sayangnya, PGE yang diharapkan bisa memberikan panas bumi dari sumur idle-nya untuk dimanfaatkan para penyuling tak juga terealisasi karena alasan sosial. Alat penyulingan yang sudah dibuat pun akhirnya tidak pernah digunakan dan hanya disimpan di PT Rekin.
Dosen panas bumi ITB, Dr Nenny Miryani Saptadji, sangat menghargai gagasan anak-anak muda dari Asgar Muda tersebut. Dari sisi kalkulasi teknis produksi, ide itu tidak diragukan lagi. Akan tetapi, gagasan tersebut akan menghadapi dua kendala utama: suplai panas bumi dan permainan tengkulak.
Nenny mengingatkan, tidak pas jika pemberdayaan penyuling akar wangi dilakukan dengan mengharapkan pemberian uap gratis dari pemerintah. Penyuling akan sulit mandiri jika terus disubsidi. Selain itu, pemanfaatan langsung panas bumi jelas lebih ekonomis dibandingkan dengan bahan bakar lain.
”Sebenarnya tidak ada sumur yang menganggur. Sumur-sumur yang ditutup sementara itu merupakan bagian dari strategi operasional PGE. Sumur tersebut ditutup sementara untuk meningkatkan kembali tekanannya. Jadi, suatu saat akan digunakan lagi. Ini merupakan bagian dari sistem pengamanan pasokan,” ujar Nenny.
Nenny yakin, jika hanya untuk kepentingan uji coba, PGE tidak akan keberatan. Akan tetapi, ketika berbicara bisnis, akan lain ceritanya.
Destilasi minyak akar wangi hanya membutuhkan panas bumi bersuhu rendah (di bawah 125 derajat celsius), sedangkan kebanyakan sumur panas bumi yang ada sekarang bertemperatur tinggi (225-350 derajat celsius). Sementara menurunkan suhu panas bumi dari sumur yang ada pun dinilai buang-buang energi.
Jalan tengah yang mungkin dilakukan ialah Asgar Muda meminta bantuan PGE mencarikan kawasan potensial panas bumi bersuhu rendah. Akan lebih baik jika dengan pengeboran yang dalamnya tidak lebih dari 1 kilometer.
”Biaya untuk mengebor dua sumur berkedalaman 2 kilometer-2,5 kilometer saja mencapai Rp 50 miliar. Pertamina bisa saja dimintai bantuan untuk mencarikan kawasan panas bumi bersuhu rendah. Tapi pertanyaannya kemudian, siapa yang mau membiayai pengeboran sumurnya?” kata Nenny.
Andai saja harga jual minyak akar wangi tinggi dan tidak dikendalikan oleh tengkulak, ujar Nenny, ada kemungkinan bisnis minyak akar wangi memakai panas bumi akan menarik secara ekonomis. Dengan demikian, investasi dengan mengebor sumur sekitar 500 meter dengan biaya Rp 10 miliar, misalnya, tetap menjanjikan karena harga jual minyak akar wangi di dunia tinggi.(Adhitya Ramadhan)
Kebijakan pemerintah akhir tahun 2005 tentang mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan menaikkan harga BBM lebih dari 100 persen telah menempatkan para penyuling di ambang kehancuran. Biaya membeli minyak tanah sebagai bahan bakar utama penyulingan naik lebih dari dua kali lipat. Sementara harga minyak akar wangi kerap tak menentu akibat ulah para tengkulak.
Kondisi semakin sulit tatkala banyak penyuling yang ditangkap polisi gara-gara membeli minyak tanah dalam jumlah besar. Aturan pembatasan pembelian menjadi tembok penghalang menyakitkan bagi penyuling yang membutuhkan 250 liter minyak tanah untuk sekali menyuling selama lebih kurang 24 jam. Terlebih untuk bisa keluar dari jerat hukum mereka kerap ”menyetor” uang jutaan rupiah kepada polisi.
Dampaknya, kini, dari 30 penyuling akar wangi, 20 di antaranya kolaps. Lahan akar wangi seluas 2.400 hektar yang tersebar di lima kecamatan pun menyusut menjadi sekitar 1.000 hektar.
Mereka yang masih bertahan menyiasati persoalan bahan bakar ini dengan memakai solar atau oli bekas sebagai bahan bakar. Upaya efisiensi bahan bakar dengan menaikkan temperatur dan mempersingkat lama pembakaran membuat minyak akar wangi gosong karena disuling dengan tekanan 5-6 bar dalam waktu lebih singkat.
Krisis bahan bakar itu menginspirasi sekumpulan anak muda asal Garut yang tersebar di berbagai perguruan tinggi yang tergabung dalam Paguyuban Mahasiswa Asal Garut (Asgar Muda). Mereka menelurkan gagasan pemanfaatan panas bumi sebagai bahan bakar penyulingan. Sebuah gagasan yang—meskipun bukan hal baru—harus diapresiasi karena lahir dari generasi muda di sebuah negara tropis yang masih amat bergantung kepada bahan bakar fosil.
Mereka menilai kondisi Garut sangat ironis. Panas bumi dari sumur-sumur di kawah Kamojang dan Darajat di Garut menghasilkan listrik ratusan megawatt yang bisa dinikmati masyarakat luas. Namun, di tengah potensi energi panas bumi yang melimpah ruah itu masih ada penduduk Garut yang kelangsungan ekonomi keluarganya terganggu akibat kesulitan bahan bakar.
Ketua Dewan Pembina Asgar Muda Goris Mustaqim berpikiran, mengapa tidak sumur-sumur panas bumi Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang idle dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyuling akar wangi. Selain ramah lingkungan, energi terbarukan dan minim polusi ini juga dinilai lebih ekonomis dibandingkan dengan bahan bakar lain.
Serangkaian uji coba telah dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) guna menemukan kalkulasi tekanan, temperatur, dan lama penyulingan yang pas menggunakan panas bumi. Hasil uji coba diperoleh bahwa dengan tekanan optimum 2-3 bar dan lama penyulingan 20 jam bisa dihasilkan rendemen akar wangi hingga 2 persen, lebih besar daripada selama ini sebesar 0,3 persen.
Dengan demikian, kesimpulannya, penggunaan panas bumi pada penyulingan akar wangi dapat meningkatkan rendemen dan kualitas minyak akar wangi.
Secara sederhana, proses destilasi akar wangi memakai panas bumi juga tidak berbeda jauh dengan menggunakan bahan bakar lainnya. Uap panas bumi yang bertekanan sekitar enam bar dengan suhu 145 derajat celsius masuk ke penukar panas dengan kapasitas (debit) 500 kilogram per jam.
Air yang berasal dari kolam dipompakan ke penukar panas sehingga tekanan uap turun menjadi tiga bar dan temperaturnya menjadi 120 derajat celsius.
Uap tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tangki penyulingan yang telah diisi akar wangi yang telah kering. Penyulingan berlangsung sekitar 20 jam dengan tekanan yang dinaikkan bertahap hingga maksimal tiga bar.
Minyak akar wangi dalam akar akan menembus jaringan-jaringan akar (hidrodifusi) dan ikut dalam fasa uap. Campuran uap dan minyak lalu didinginkan di kondensor. Setelah terkondensasi, minyak dan air dipisahkan pada tangki pemisah, air berada di bawah, sedangkan minyak akar wangi berada di atas air.
Bahkan, untuk menyokong idenya itu, Asgar Muda, bekerja sama dengan PT Rekayasa Industri (Rekin), telah membuat prototipe alat penyuling akar wangi berbahan bakar panas bumi. Alat yang dibuat di Laboratorium Teknik Kimia ITB tersebut selesai dikerjakan pada 2008.
Sayangnya, PGE yang diharapkan bisa memberikan panas bumi dari sumur idle-nya untuk dimanfaatkan para penyuling tak juga terealisasi karena alasan sosial. Alat penyulingan yang sudah dibuat pun akhirnya tidak pernah digunakan dan hanya disimpan di PT Rekin.
Dosen panas bumi ITB, Dr Nenny Miryani Saptadji, sangat menghargai gagasan anak-anak muda dari Asgar Muda tersebut. Dari sisi kalkulasi teknis produksi, ide itu tidak diragukan lagi. Akan tetapi, gagasan tersebut akan menghadapi dua kendala utama: suplai panas bumi dan permainan tengkulak.
Nenny mengingatkan, tidak pas jika pemberdayaan penyuling akar wangi dilakukan dengan mengharapkan pemberian uap gratis dari pemerintah. Penyuling akan sulit mandiri jika terus disubsidi. Selain itu, pemanfaatan langsung panas bumi jelas lebih ekonomis dibandingkan dengan bahan bakar lain.
”Sebenarnya tidak ada sumur yang menganggur. Sumur-sumur yang ditutup sementara itu merupakan bagian dari strategi operasional PGE. Sumur tersebut ditutup sementara untuk meningkatkan kembali tekanannya. Jadi, suatu saat akan digunakan lagi. Ini merupakan bagian dari sistem pengamanan pasokan,” ujar Nenny.
Nenny yakin, jika hanya untuk kepentingan uji coba, PGE tidak akan keberatan. Akan tetapi, ketika berbicara bisnis, akan lain ceritanya.
Destilasi minyak akar wangi hanya membutuhkan panas bumi bersuhu rendah (di bawah 125 derajat celsius), sedangkan kebanyakan sumur panas bumi yang ada sekarang bertemperatur tinggi (225-350 derajat celsius). Sementara menurunkan suhu panas bumi dari sumur yang ada pun dinilai buang-buang energi.
Jalan tengah yang mungkin dilakukan ialah Asgar Muda meminta bantuan PGE mencarikan kawasan potensial panas bumi bersuhu rendah. Akan lebih baik jika dengan pengeboran yang dalamnya tidak lebih dari 1 kilometer.
”Biaya untuk mengebor dua sumur berkedalaman 2 kilometer-2,5 kilometer saja mencapai Rp 50 miliar. Pertamina bisa saja dimintai bantuan untuk mencarikan kawasan panas bumi bersuhu rendah. Tapi pertanyaannya kemudian, siapa yang mau membiayai pengeboran sumurnya?” kata Nenny.
Andai saja harga jual minyak akar wangi tinggi dan tidak dikendalikan oleh tengkulak, ujar Nenny, ada kemungkinan bisnis minyak akar wangi memakai panas bumi akan menarik secara ekonomis. Dengan demikian, investasi dengan mengebor sumur sekitar 500 meter dengan biaya Rp 10 miliar, misalnya, tetap menjanjikan karena harga jual minyak akar wangi di dunia tinggi.(Adhitya Ramadhan)
Ubah Tinja Jadi Energi di Luar Angkasa
NASA
Stasiun Antariksa Internasional (ISS). Satelit pertama milik Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), bagian dari UNESCOSat Project yang berbiaya 5 juta dollar AS, akan diluncurkan tahun depan. Peluncuran satelit ini bertujuan untuk membantu proses pendidikan, meningkatkan minat pada sains, dan meningkatkan kerja sama global.
Kini, satelit itu memiliki tujuan tambahan. Satelit itu akan digunakan untuk melihat kemungkinan bakteri bisa hidup dan melakukan metabolisme di luar angkasa. Muaranya adalah kemungkinan bahwa bakteri bisa dimanfaatkan untuk mengubah kotoran para astronot menjadi sumber bahan bakar di luar angkasa.
"Ini hal yang sangat potensial. Kita bisa mengambil sampah dan menggunakannya untuk membangkitkan listrik dalam misi ke luar angkasa," kata Donald Platt, Direktur Program Space Science dari Florida Institute of Technology, yang menjadi ketua misi ini.
Untuk melakukannya, para peneliti melengkapi satelit tersebut dengan tempat tes, saluran pencampur, dan pompa solenoide. Selain itu, akan disertakan juga bakteri anaerobik, sejenis bakteri yang tidak memerlukan oksigen dalam melakukan metabolisme.
Bakteri yang akan digunakan adalah Shewanella MR-1. Bakteri tersebut diketahui mampu mengubah kotoran menjadi bahan bakar hidrogen, bahan yang bisa digunakan sebagai bahan bakar pesawat luar angkasa. Para peneliti ingin melihat dahulu efek tekanan dan gravitasi terhadap siklus hidup bakteri itu.
Para ilmuwan telah menemukan cara mengubah urine menjadi air minum untuk konsumsi selama di stasiun luar angkasa. Mampukah mereka memproduksi bahan bakar dari tinja untuk kebutuhan energi di luar angkasa?
Kini, satelit itu memiliki tujuan tambahan. Satelit itu akan digunakan untuk melihat kemungkinan bakteri bisa hidup dan melakukan metabolisme di luar angkasa. Muaranya adalah kemungkinan bahwa bakteri bisa dimanfaatkan untuk mengubah kotoran para astronot menjadi sumber bahan bakar di luar angkasa.
"Ini hal yang sangat potensial. Kita bisa mengambil sampah dan menggunakannya untuk membangkitkan listrik dalam misi ke luar angkasa," kata Donald Platt, Direktur Program Space Science dari Florida Institute of Technology, yang menjadi ketua misi ini.
Untuk melakukannya, para peneliti melengkapi satelit tersebut dengan tempat tes, saluran pencampur, dan pompa solenoide. Selain itu, akan disertakan juga bakteri anaerobik, sejenis bakteri yang tidak memerlukan oksigen dalam melakukan metabolisme.
Bakteri yang akan digunakan adalah Shewanella MR-1. Bakteri tersebut diketahui mampu mengubah kotoran menjadi bahan bakar hidrogen, bahan yang bisa digunakan sebagai bahan bakar pesawat luar angkasa. Para peneliti ingin melihat dahulu efek tekanan dan gravitasi terhadap siklus hidup bakteri itu.
Para ilmuwan telah menemukan cara mengubah urine menjadi air minum untuk konsumsi selama di stasiun luar angkasa. Mampukah mereka memproduksi bahan bakar dari tinja untuk kebutuhan energi di luar angkasa?
Mendengar kan musik
Jakarta - Tak selamanya kenikmatan mendengarkan musik melalui pemutar MP3 atau menerima telepon ketika berjalan kaki menyenangkan. Sebuah penelitian menemukan, keduanya meningkatkan risiko kecelakaan bagi para pejalan kaki.
Selain pemutar MP3, kecanggihan mobil listrik yang tak bersuara juga dinilai turut berkontribusi dalam hal ini. Juru bicara perusahaan asuransi AAM(Associaton for the Advancement of Medical Instrumentation), Mike Sopinski yang mengadakan studi ini menyebutkan, tahun 2009 ada 200 pejalan kaki tewas tertabrak di jalan raya. Meski demikian, dua dari tiga orang mengaku sangat senang berjalan kaki.
"Saya melihat sepanjang waktu, para pejalan kaki melangkah di jalan dengan earphone pemutar MP3 player atau ponsel menempel di telinga mereka," kata Sopinski seperti dikutip detikINET dari Heraldsun, Kamis (3/6/2010).
"Selain itu, beberapa kendaraan listrik yang tak bersuara membuat jumlah kematian pejalan kaki meningkat," tambahnya.
Meskipun menggunakan ponsel ketika mengemudi dilarang, Sopinski meragukan pelarangan itu bisa diterapkan juga pada pejalan kaki. Penelitian yang melibatkan 2.818 partisipan ini juga menemukan, seperempat pejalan kaki sangat sembrono ketika berjalan.
"Sebanyak 51 persen pengemudi yang disurvei mengatakan, ketika para pejalan kaki sedang menyeberang kemudian tertabrak, maka pejalan kaki lah yang salah. Karena mereka tak hati-hati dan malah asyik dengan gadgetnya," tandas Sopinski.
Gangguan sinyal ponsel coba dijawab produk Chip Penguat Sinyal. Chip setipis karton dengan ukuran 4 cm x 2 cm ini berfungsi meningkatkan penerimaan, memperkuat sinyal di tempat yang sulit dijangkau, seperti perahu, lift, mobil, bangunan, terowongan dan pegunungan.
Marketing Manager PT Global Lumintu Jaya (GLJ) yang mendistribusikan chip penguat sinyal, Yasin, menuturkan, produk ini adalah perangkat pasif yang dirancang khusus untuk menangkap radiasi sinyal yang tertangkap dalam tubuh ponsel dan memancarkan kembali sinyal tersebut.
“Produk ini adalah generasi terakhir yang telah lolos uji coba lapangan dan hasil riset yang panjang sehingga lebih kuat dan stabil,” ujarnya.
Dengan chip penguat sinyal ini ponsel ibarat memiliki antena empat kaki sehingga sinyal lebih baik. Juga dapat digunakan pada semua tipe ponsel dan frekuensi GSM/CDMA/WCDMA/3G/EDGE/GPRS. Hal ini memungkinkan chip juga dapat dipasang di modem USB seperti IM2 dan Flash.
Cara penggunaannya cukup dijepit di antara baterai dan badan ponsel. Bentuknya yang setipis kerta karton ini tak membuat posisi baterai berubah.
Penempatan yang aman di bawah baterai juga membuat usia chip jauh lebih lama dan dapat dipindahkan ke ponsel lain. Selama chip tidak patah, alat ini tetap dapat berfungsi optimal. “Sangat mudah untuk memasang cukup kupas dan tempel pada bagian dalam tempat baterai.
Berbeda dengan alat penguat sinyal seperti antenna booster, chip pertama di Indonesia ini tidak mengganggu kinerja operator seluler. Pasalnya, chip penguat sinyal bukanlah transmitter yang dapat mengganggu jangkauan sinyal dari operator seluler.
Karena itu, chip penguat sinyal tidak menyebabkan radiasi yang dapat merusak otak. “Chip ini mendapat respons pasar yang baik karena konsumen dapat langsung merasakan manfaatnya. Sinyal naik sampai 1-2 bar dan lebih stabil sehingga suara jernih.
Dalam sebuah penelitian pertama yang melihat dampak kesehatan perokok pasif, para peneliti menemukan 40 persen anak-anak dan lebih dari 30 persen pria bukan perokok setiap harinya ikut menghirup asap rokok yang berasal dari rokok perokok aktif.
Data yang dikumpulkan, dari 192 negara itu menemukan bahwa tiap tahunnya 379.000 orang meninggal akibat penyakit jantung, 165.000 akibat penyakit pernapasan, 36.900 akibat asma, dan 21.400 meninggal akibat kanker paru. Apabila diakumulasi, angka tersebut mencapai 1 persen dari penyebab kematian secara global.
"Data tersebut membantu kita memahami dampak nyata dari tembakau. Kombinasi antara penyakit infeksi dan menjadi perokok pasif bisa berakibat mematikan," kata Armando Peruga, program manajer dari WHO Tobacco-Free Initiative yang melakukan penelitian ini.
Ia menjelaskan, WHO menaruh perhatian terhadap angka kematian pada anak-anak akibat infeksi pernapasan sebagai dampak dari asap rokok yang tiap tahunnya mencapai 165.000 korban tewas, terutama di Asia Tenggara dan Afrika.
Data WHO menyebutkan, negara yang penduduknya paling banyak terpapar asap rokok adalah Eropa dan Asia. Sementara itu, jumlah terendah ada di Amerika, Mediterania timur, dan Afrika.
Perempuan yang sering terpapar asap rokok menderita kerugian yang paling besar dengan jumlah kematian 281.000. Di banyak negara, 50 persen perempuan menjadi perokok pasif.
600.000 Perokok Pasif Tewas Tiap Tahun
shutterstocKOMPAS.com — Seseorang yang tidak merokok, tetapi berada di sekitar orang yang merokok dan mengisap asap rokok, atau disebut juga perokok pasif, akan ikut terkena dampak dari bahaya rokok. Menurut data, lebih dari 600.000 perokok pasif tiap tahunnya meninggal.Dalam sebuah penelitian pertama yang melihat dampak kesehatan perokok pasif, para peneliti menemukan 40 persen anak-anak dan lebih dari 30 persen pria bukan perokok setiap harinya ikut menghirup asap rokok yang berasal dari rokok perokok aktif.
Data yang dikumpulkan, dari 192 negara itu menemukan bahwa tiap tahunnya 379.000 orang meninggal akibat penyakit jantung, 165.000 akibat penyakit pernapasan, 36.900 akibat asma, dan 21.400 meninggal akibat kanker paru. Apabila diakumulasi, angka tersebut mencapai 1 persen dari penyebab kematian secara global.
"Data tersebut membantu kita memahami dampak nyata dari tembakau. Kombinasi antara penyakit infeksi dan menjadi perokok pasif bisa berakibat mematikan," kata Armando Peruga, program manajer dari WHO Tobacco-Free Initiative yang melakukan penelitian ini.
Ia menjelaskan, WHO menaruh perhatian terhadap angka kematian pada anak-anak akibat infeksi pernapasan sebagai dampak dari asap rokok yang tiap tahunnya mencapai 165.000 korban tewas, terutama di Asia Tenggara dan Afrika.
Data WHO menyebutkan, negara yang penduduknya paling banyak terpapar asap rokok adalah Eropa dan Asia. Sementara itu, jumlah terendah ada di Amerika, Mediterania timur, dan Afrika.
Perempuan yang sering terpapar asap rokok menderita kerugian yang paling besar dengan jumlah kematian 281.000. Di banyak negara, 50 persen perempuan menjadi perokok pasif.
Ratu Elizabeth II Berkerudung ke Masjid
KOMPAS.com — Setelah first lady Amerika Serikat, Michele Obama, berkerudung di Masjid Istiqlal Jakarta, kini giliran Ratu Elizabeth II melakukan hal serupa.
Ia bahkan mengenakan jubah panjang warna keemasan, kerudung juga keemasan, tetapi masih dengan topinya saat memasuki Masjid Sheikh Zayed di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA). Ratu bersama Pangeran Philip dan rombongan.
Rombongan ratu Inggris ini begitu turun dari British Airways dari London langsung ke masjid terbesar di UEA, peninggalan pendiri Kerajaan UEA Sheikh Zayed, Rabu (24/
11/2010), dalam kunjungan pertamanya sejak 31 tahun terakhir.
Sebelum memasuki ruang utama masjid megah itu, Ratu juga menyempatkan diri ke makam Sheikh Zayed, pendiri Uni Emirat Arab.
Ratu menggarisbawahi bahwa UEA adalah negara sahabat yang penting bagi Inggris. Pasangan Kerajaan Inggris itu juga disertai Pangeran Andrew, Duke of York, yaitu anak ketiga Ratu Elizabeth II.
Dalam kunjungan itu juga dibicarakan terkait rencana pernikahan Pangeran William dengan Kate Middleton pada 29 April 2011 mendatang.
Saat Ratu mengenakan jilbab dan jubah panjang menjadi perhatian media di dunia. Apalagi ketika Ratu memasuki ruang utama masjid dengan hamparan karpet 35 ton terbesar di dunia, yang konon harus dikerjakan oleh 1.200 perempuan Iran itu.
Sang Ratu pun berjalan di atas karpet yang empuk itu dengan menggunakan stocking warna kulit dan kaus tangan tipis putih.
Adapun perempuan lain dari rombongan itu mengenakan abaya hitam panjang sebagaimana orang Arab. Jubah atau gaun panjang sang Ratu hingga kaki, bersulam emas dan kristal tampak gemerlap. Selendang atau jilbabnya diikat di kepala, menutup topi kotak dan rambutnya.
Setelah di Abu Dhabi, rombongan pasangan Kerajaan Inggris itu akan mengunjungi Oman, tetangga UEA, dalam rangka hubungan bisnis dan investasi. Rencananya rombongan Kerjaan Inggris mengadakan lawatan selama lima hari di Timur Tengah. (DailyMail/Widodo)
Ia bahkan mengenakan jubah panjang warna keemasan, kerudung juga keemasan, tetapi masih dengan topinya saat memasuki Masjid Sheikh Zayed di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA). Ratu bersama Pangeran Philip dan rombongan.
Rombongan ratu Inggris ini begitu turun dari British Airways dari London langsung ke masjid terbesar di UEA, peninggalan pendiri Kerajaan UEA Sheikh Zayed, Rabu (24/
11/2010), dalam kunjungan pertamanya sejak 31 tahun terakhir.
Sebelum memasuki ruang utama masjid megah itu, Ratu juga menyempatkan diri ke makam Sheikh Zayed, pendiri Uni Emirat Arab.
Ratu menggarisbawahi bahwa UEA adalah negara sahabat yang penting bagi Inggris. Pasangan Kerajaan Inggris itu juga disertai Pangeran Andrew, Duke of York, yaitu anak ketiga Ratu Elizabeth II.
Dalam kunjungan itu juga dibicarakan terkait rencana pernikahan Pangeran William dengan Kate Middleton pada 29 April 2011 mendatang.
Saat Ratu mengenakan jilbab dan jubah panjang menjadi perhatian media di dunia. Apalagi ketika Ratu memasuki ruang utama masjid dengan hamparan karpet 35 ton terbesar di dunia, yang konon harus dikerjakan oleh 1.200 perempuan Iran itu.
Sang Ratu pun berjalan di atas karpet yang empuk itu dengan menggunakan stocking warna kulit dan kaus tangan tipis putih.
Adapun perempuan lain dari rombongan itu mengenakan abaya hitam panjang sebagaimana orang Arab. Jubah atau gaun panjang sang Ratu hingga kaki, bersulam emas dan kristal tampak gemerlap. Selendang atau jilbabnya diikat di kepala, menutup topi kotak dan rambutnya.
Setelah di Abu Dhabi, rombongan pasangan Kerajaan Inggris itu akan mengunjungi Oman, tetangga UEA, dalam rangka hubungan bisnis dan investasi. Rencananya rombongan Kerjaan Inggris mengadakan lawatan selama lima hari di Timur Tengah. (DailyMail/Widodo)